Sejarah Ilmu Nahwu Dalam Perspektif Mazhab Kufah
A. Pendahuluan
Bahasa Arab adalah salah satu Bahasa di dunia yang mayoritas digunakan
oleh setiap orang dari segala penjuru dunia yang memiliki populasi sekitar
ratusan jiwa[1].
Selain sebagai Bahasa dunia Bahasa Arab juga merupakan Bahasa Al-Qur’an dan memiliki
beberapa cabang ilmu diantaranya adalah ilmu balaghah, ilmu nahwu, ilmu shorof,
dan berbagai jenis ilmu lainya yang berkaitan dengan Bahasa Arab.
Ilmu nahwu atau yang juga kita sebut sebagai gramatika Bahasa Arab dari
pertama kali munculnya ilmu ini hingga sekarang selalu senantiasa menjadi
sebuah bahan kajian yang dinamis diantara kalangan para ahli linguistik Bahasa
Arab. Merupakan disiplin ilmu yang memiliki tujuan agar setiap umat di dunia
dapat memahami teks-teks berbahasa Arab, ilmu nahwu memiliki dua kegunaan untuk
dipelajari. Yang pertama, dapat dipelajari sebagai sarana yang berguna untuk
mendalami ilmu dalam bidang lain yang mana referensi utama ilmu yang didalami
ditulis dengan Bahasa Arab, contoh ilmu tafsir, ilmu hadist, dan ilmu fiqih.
Kedua, ilmu tersebut juga dapat dipelajari dan menjadi tujuan utama spealisasi
linguistik Bahasa Arab. Maka dari itu dua kegunaan pembelajaran ilmu nahwu
tersebut dapat menjadi tradisi secara terus-menerus berkembang secara pesat didalam
lingkungan masyarakat Arab Islam dari zaman dahulu hingga sekarang ini.
Hampir seluruh Ulama agama Islam dari akhir abad pertama tahun Hijriah
hingga sekarang telah memiliki penguasaan yang sangat baik terhadap ilmu nahwu.
Dan tidak jarang dari para ulama yang menjadi ahli dalam bidang ilmu nahwu
mereka pun juga ahli dalam hal di bidang ilmu agama lainya. Contoh,
al-Zamakhsyari, Ibnu Hisyam, Jalaludin as-Suyuthi, An-Nawawi, Imam Ibnu Katsir.
Mereka merupakan para ulama yang handal dalam berbagai bidang ilmu agama,
sehingga pada waktu yang sama keahlian mereka dalam bidang ilmu nahwu dapat
diakui di lingkungan para ulama muslim. Tokoh Agama di Indonesia seperti syekh
Nawawi Banten, Buya Hamka, Prof Mahmud Yunus, dan K.H Bisri Mustafa juga
memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang ilmu nahwu, dan Sebagian
besar dari mereka telah menulis atau menerjemahkan lebih dari satu judul dalam
setiap bidang didalam ilmu nahwu.[2]
B. Sejarah
Kemunculan Ilmu Nahwu
Di awal
munculnya ilmu nahwu hanya di prioritaskan sebagai sarana belajar dan untuk
menjaga kaidah-kaidah berbahasa serta
mengantispasi adanya kesalahan dalam berbahasa. Tetapi semakin berkembangnya
zaman, ilmu nahwu menjadi sebuah disiplin yang bersifat mandiri dalam berbahasa
arab. Dengan semakin meluasnya wilayah daulah Islamiyah dan banyaknya percampuran
antara orang Arab asli dan kaum non arab, mereka berkomunikasi dengan
sesama mereka menggunakan Bahasa arab, maka
dari sinilah mulai terlihat beberapa kesalahan dan penyimpangan dalam berbahasa
arab, munculnya permasalahan ini sangat menggangu dan menyebabkan sebuah
kegelisahan terutama terhadap para ahli ilmu agama di arab, sehingga setiap
ulama berusaha supaya dapat menemukan solusi dalam menyelesaikan masalah ini
yang jika dibiarkan dapat mempengaruhi perkembangan kelestarian Bahasa arab.[3]
Salah satu
orang yang bertanggung jawab dalam masalah di masa itu ialah Ali bin Abi Thalib
, karena beliau merupakan khalifah dan
sebagai pemimpin daulah Islamiyah di masa itu, maka sudah menjadi tanggung jawabnya untuk memikirkan solusi
dalam menyelesaikan masalah ini. Terlebih beliau adalah orang yang ahli dan paham dalam bidang
fashahah dan balaghah karena itu beliau tidak bisa tinggal diam dalam
menghadapi permasalahan ini. Tetapi pada masa kepemipinanya banyak terjadi peperangan
di dalam negeri yang membuat beliau sibuk dalam menyelasaikan masalah
peperangan yang tidak bisa ditinggalkan, maka terpilihlah salah satu muridnya
yaitu Abu al-Aswad ad-Du’ali yang dipilih untuk membantu mencari solusi serta
dapat menyelesaikan permasalahan dalam kaidah-kaidah berbahasa Arab. Dan
dimulai dari sinilah yang menjadi penyebab munculnya sebuah gagasan penyusun
ilmu nahwu yaitu faktor peradaban, yakni masa disaat agama Islam sudah memasuki
didalam Kawasan dunia Arab.
Seiring
berjalanya waktu Abu al-Aswad ad-Du’ali mengembangkan ilmu nahwu dan merintis
tata cara kaidah penulisan dengan meletakan baris tanda baca (harakat) dan
tanda-tanda bunyi yang lainya pada setiap kata dalam pembelajaran ilmu nahwu
serta memperkenalkan system tanda titik pada setiap huruf dalam Bahasa arab. Maka
dari itu ilmu nahwu mulai berkembang secara bertahap dan masa keemasanya pada
dua abad setelah perkembanganya, Ketika itu juga lahirlah para ahli-ahli Bahasa
arab antara lain Sibawaihi, al-Farahidi. Dan al-Farra’ yang sudah memulai
menuliskan karya-karya mereka dalam bidang tata Bahasa terkhusus dalam bidang
Bahasa arab.[4]
Dengan
keseriusan dan kegigihanya dalam melakukan tugas, Abu al-Aswad ad-Du’ali
mengamati kesalahan setiap orang arab yang berkomunikasi berbahasa arab dan
mencari sebuah solusi agar permasalahan tersebut tidak terulang Kembali serta
tidak menyebar secara luas ke wilayah daulah Islam yang lainya. Keseriusannya dengan
para ahli linguistik Bahasa arab di masa itu yang membuat ilmu nahwu mencapai
kesempurnaan secara etimologis. Kesempurnaan itu muncul dari usaha yang dilakukanya, pada suatu hari ia
memberikan sebuah tinta dan pena kepada seorang sahabatnya abdi al-Qais, ia
mengarahkan abdi al-Qais supaya memberi kode setiap ia membaca, dan Ketika ia
membaca setiap huruf yang berharakat fathah maka sahabatnya akan memberi tanda
titik merah di atas huruf yang dibacanya tadi. Dan bila ada huruf yang dibaca
dengan harakat kasrah, maka pada huruf tersebut akan diberi tanda titik merah
dibawah huruf itu, dan juga apabila huruf itu dibaca dengan dhommah, maka huruf
tersebut akan diberi tanda merah di antara huruf itu dan setelahnya.[5]
Ilmu
Nahwu memiliki peran sangat penting dalam setiap pembelajaran pada bidang
Bahasa arab karena dengan adanya ilmu nahwu timbul sebuah pencapaian dan
keberhasilan setiap orang dalam melakukan pembelajaran di bidang Bahasa arab,
karena ilmu nahwu itu membahas tentang keilmuan tata Bahasa arab. Sejarah
kelahiran Ilmu nahwu merupakan hal yang berguna dan mempermudah pemahaman
setiap orang yang mempelajari Bahasa arab terutama terhadap ilmu nahwu.[6]
C. Aliran Mazhab
dalam Ilmu Nahwu
Mazhab
Bashrah dan mazhab Kufah merupakan dua aliran utama dalam pembelajaran ilmu nahwu.
Dua aliran tersebut memiliki peran penting sebagai pencetus pada bagian kajian
dan pemikiran ilmu nahwu. Aliran Bashrah dapat disebut sebagai peletak dasar
pada ilmu nahwu dan aliran Kufah sebagai tali pengikat untuk memperkokoh kajian
kaidah-kaidah Bahasa arab dengan menggunakan ciri khas khusus yang masih mempunyai
hubungan pendekatan antara keduanya.[7]
Di dalam
ilmu nahwu sendiri terdapat lima mazhab yang didalamnya membahas secara
mendalam kaidah-kaidah ilmu nahwu dan berkembang hingga saat ini antara lain
adalah mazhab Bashrah, mazhab Kufah, mazhab Baghdad, mazhab Andalusia dan mazhab
Mesir. Mazhab Basrah adalah pencetus diantara mazhab-mazhab ilmu nahwu yang
lainya karena merupakan asas pertama berdirinya kaidah ilmu nahwu. Dan mazhab
yang lainya adalah sebuah pengembangan dari mazhab Bashrah adanya hal ini
dikarenakan setiap pendiri ataupun ahli tokoh pada mazhab-mazhab tersebut
adalah murid yang pernah diajar oleh para ulama-ulama mazhab Bashrah.
Menurut para
Ulama nahwu, aliran mazhab Bashrah dan Kufah tadi memiliki otoritas dan hak
wewenang yang tinggi sehingga memiliki banyak pengikut yang fanatik terhadap aliran tersebut sehingga
aliran-aliran berikutnya dapat berkembang dengan baik. Ketiga aliran nahwu setelah
Bashrah dan Kufah merupakan aliran turunan hasil dari perpaduan antara antara
keduanya.[8]Sehingga
lahirlah beberapa aliran mazhab nahwu antara lain :
1. Mazhab
Basrah
Bashrah
merupakan tempat lahirnya para ulama ilmu nahwu, mereka mengembangkan suatu
persepsi kesamaan dalam metode kaidah nahwu dengan melakukan pendekatan dan
pemikiran melalui bahasa dengan menetapkan kaidah-kaidah nahwu menggunakan cara
tersendiri. Dengan memakai metode al-sima’, al-Qiyas, al-Ijma’ dan al-Istishab.
Nahwu pada mazhab Bashrah didirikan dalam tiga prinsip utama dalam ilmu nahwu mazhab
Basrah yaitu : al-Qiyas, al-Ta’lil, dan al-Ta’wil, karakter yang paling
terkenal dalam mazhab Basrah adalah membuat persoalan-persoalan nahwu yang
dibahas menggunakan pendekatan logika formal dengan bermacam-macam
silogismenya, alasan rasionalitasnya dan interpretasinya, dan setelah itu baru
mendasar kepada kalam Allah dan Perkataan orang arab . Maka dari itu sebab yang
menjadikan fokus utama mazhab nahwu ini adalah al-Qiyas. Setelah itu munculah
para ahli nahwu dan pemikiran nahwu bermazhab Bashrah mulai berkembang yang
dimana pemikiranya terhadap nahwu mengedepankan al-Qiyas dan al-Ijma’ sehingga
dapat kita melihat karya tokoh-tokoh pada mazhab Bashrah yaitu seperti Abu
al-aswad al-du’ali[9],
Abd ar-Rahman Bin Hurmuz, ibnu Abbas, Nashr bin Ashim al-Laitsi dan para ulama
nahwu lainya dalam mazhab Bashrah.
2. Mazhab Kufah
Mazhab Kufah
merupakan suatu aliran yang mengutamakan penggunaan al-Qiyas, al-Ijma’ dan
Tahlil dalam melakukan penetapan kaidah ilmu nahwu. Di masa itu ulama kufah
membuat pembaharuan terhadap pengkajian dan pengembangan ilmu berbagai kitab
ilmu nahwu dan para tokohnya yang terkenal.[10]
Perbedaan
yang terlihat antara mazhab bashrah dan kufah yaitu bahwa mazhab Bashrah
memilki sifat lebih bebas dan tidak terikat pada tradisi bahasa yang telah ada
sebelumnya, sehingga lebih teratur, tersusun dan berpengaruh. Sebaliknya mazhab
kufah kurang memiliki nuansa kebebasan, lebih menjaga warisan peninggalan orang
arab meskipun keabsahan warisan itu kurang dapat di pertanggungjawabkan. Mazhab
berusaha mempertahankan kaidah bahasa yang dapat diterima nalar dan menghindari
segala hal tentang periwayatan yang dapat mengubah kaidah bahasa. Selain itu mazhab
kufah berbanding terbalik terhadap mazhab Bashrah , Mazhab Kufah mengambil
keputusan kaidah bahasa arab dari segala hal yang mereka dengar yang berasal
dari orang arab tanpa mengamati dan peduli terhadap tingkat keaslian atau
tidaknya riwayat tersebut.[11]
3. Mazhab
Baghdad
Pada masa
ini dimulai dengan adanya para ahli nahwu yang berasal dari Basrah dan Kufah
menuju kota Baghdad. Meskipun mereka telah berpindah ke kota Baghdad di awal
mereka masih membawa aliran mazhab mereka masing-masing, tetapi seiring
berjalanya waktu mereka mulai berkumpul dan bermusyawarah , sehingga pada
akhirnya muncul mazhab baru yaitu adalah mazhab Baghdad.
Mazhab
Baghdad merupakan suatu aliran yang mengutamakan penggunaan al-Sima’, al-Qiyas.
Menurut pendapat Ibn Jinni, al-Ijma’, al-Istishab dengan memadukan pemikiran
ilmu nahwu bermazhab Bashrah dan Kufah dalam melakukan penetapan kaidah nahwu.
Di masa ini terdapat pembaharuan dalam pembahasan dan pengembangan ilmu nahwu
yang dihasilkan oleh para ulama di Baghdad sehingga dapat menetapkan kaidah
ilmu nahwu yang ditandai dengan terbitnya berbagai kitab-kitab nahwu dan
tokoh-tokohnya yang terkenal salah satunya adalah al-Zamakhsyary.
4. Mazhab Mesir
Pertumbuhan keilmuan dalam ilmu Nahwu pada biasanya
mulai timbul serta tumbuh di masa dini pertumbuhan Islam. Hasrat untuk membaca
Al- Quran dengan benar menjadi salah satu faktor berarti dalam pertumbuhan
nahwu di negara pyramid ini. Terdapatnya pertumbuhan ini dibantu oleh komentar
sebagian ulama yang mengemukakan keberadaan madrasah di Mesir serta Syria.[12]
Pada masa mula pertumbuhan madrasah Mesir, sudah terdapat murid Abu
Aswad yang mengajar disitu, ialah Abdurrahman bin Hurmuz yang meninggal di
Iskandaria tahun 117 H. Dia inilah yang membagikan ciri titik pada mushaf Al-
Qur’ an selaku ciri I’ rab. Dia pula guru dari Imam Nafi’ bin Abi Nu’ aim,
penduduk asli Madinah yang ialah salah satu dari al- qurra’ as- sab’ ah yang
sangat populer. 41 Sehabis itu Nahwu aliran Mesir ini berkibar sejak hadirnya
Muhammad bin Wallad At- Tamimi, ia berasal dari Basrah, namun tinggal di
Fusthath Mesir. Dia berguru kepada Al- Khalil bin Ahmad di Iraq serta menulis
novel hasil pembelajarannya bersama si penemu ilmu‘ arudh tersebut. Salah satu
tokoh yang pula belajar Ilmu Nahwu kepada Al- Kisa’ i ialah Abul Hasan Al- A’
azz. Dari terdapatnya 2 tokoh inilah mulai timbul aliran baru, perpaduan antara
kedua aliran yang sudah terdapat, ialah Kufah serta Basrah. 2 tokoh ini yang
jadi generasi awal Nahwu Mesir.
5. Mazhab
Andalusia
Sesudah Bani
Umayyah mendirikan kekhalifahan di Andalusia( 138 H- 1422H), di negara baru
Islam di Barat ini timbul banyak budayawan serta sastrawan mensejajarkan diri
dengan rivalnya di negara Timur yang telah lebih dulu diketahui dengan para
intelektualnya. Para ilmuan di Andalusia yang banyak menimba ilmu ke Timur ini
pada biasanya merupakan mempunyai latar balik selaku pakar qira’ât( aneka macam
teks al- Qur’ an) serta huffâdz( penghafal al- Qur’ an). Itu sebabnya,
pengetahuan yang tumbuh lebih dulu di negara ini pula seputar ilmu qira’ at
disamping pula ilmu fikih.[13]
Pada awal kali nahwu yang diketahui serta dipelajari oleh para
ulama Andalusia merupakan nahwu mazhab Kufah serta langsung dari para pakarnya
sendiri, hingga ilmu nahwu yang tumbuh lebih di situ pula nahwu mazhab Kufah.
Serta baru pada akhir abad ke- 3 H, para ilmuan Andalusia berkenalan dengan
nahwu mazhab Bashrah dirintis oleh al- Ufushniq Muhammad bin Musa bin Hisyam(
w. 307 H). Dia berangkat ke Timur serta belajar ilmu nahwu kepada Abu Ja’ far
alDinawari di Mesir. Novel yang dia pelajari merupakan karya Sibawaih yang
sangat populer itu, al- Kitab. Dia menekuni nahwu dari Ahmad bin Yûsuf bin
Hajjâj( w. 336 H). Walaupun tidak diketahui selaku pakar nahwu, namun Ahmad
senantiasa membaca serta menekuni karya Sibawaih di atas. Tidak hanya al-
Ushfuniq, tokoh Andalusia lain yang pula menekuni karya Sibawaih misalnya
Muhammad bin Yahya al- Mahlabi al- Rabâhi al- Jayyâni( w. 353 H), seseorang
pakar filsafat, manthiq serta kalam.
D.
Asal Mula Munculnya Mazhab Kufah
Kufah adalah
sebuah kota yang terletak di kota Iraq. Terdapat berada pada 10 km timur laut
najaf dan 170 km di selatan baghdad[14]. Mazhab
kufah baru muncul sekitar 100 tahun setelah mazhab bashrah.[15]
Adanya hal ini dikarenakan para ulama terdahulu lebih fokus kepada ilmu
keislaman, seperti ilmu fiqih, hadis dan qiraat. Ulama di basrah cenderung
lebih fokus memahami ilmu nahwu. Akan tetapi ulama mazhab kufah lebih ahli dari
ulama mazhab basrah dalam bidang penyairan. Adapun metode yang digunakan oleh
ulama nahwu di kufah adalah metode studi lapangan yaitu para ulama nahwu mazhab
kufah memperhatikan setiap percakapan sehari-hari pada lisan orang-orang Arab, lalu mereka
menggunakan gaya bahasa yang mayoritas dipakai oleh kalangan masyarakat Arab. Dalam
hal ini mazhab kufah berbeda dengan mazhab Bashrah yang dimana lebih teliti menggunakan akal, dan
menggunakan mantiq beserta sumber-sumber dari ilmu filsafat.
E. Ciri Khas
Ilmu Nahwu Mazhab Kufah
Dalam
menangkap perkataan asli masyarakat Arab, Mazhab Kufah lebih cenderung memakai
alat panca indera pendengaran, mereka mendengarkan setiap perkataan dan
percakapan fasih dari suku-suku Arab yang terkenal. Dengan itu apa yang telah
mereka dengar dari perkataan dan ucapan masyarakat tadi, baik diterima atau
tidak periwayatanya, para ulama tetap menjadikan riwayat itu sebagai sebuah
dalil. Maka dari itu banyak ulama Kufah yang pandangan yang berbeda dengan mazhab
lainya. Kaidah dan dalil-dalil yang mereka gunakan pun berbeda, karena inilah
timbul perbedaan antara mazhab bashrah dan kufah.[16]
Dalam buku Abdah al-Rajahi yang berjudul durus fi al-Mazahib al-Nahwiyyah
apabila menyebutkan mazhab Bashrah pasti ada hubungannya dengan mazhab kufah,
karena dua mazhab tersebut merupakan peletak dan pencetus berdirinya ilmu
nahwu.
Abd al-‘Al
Salim Mukrim mengungkapkan bahwa ilmu nahwu yang berasal dari mazhab kufah
memilki ciri khas tersendiri diantara mazhab-mazhab nahwu yang lainya. Antara
lain : 1. Menjadikan setiap percakapan bahasa Arab yang terdapat di daerah
pedalaman sebagai dalil atau bukti dalam konsep bahasa, 2. Membuat masalah
berbahasa yang jarang terjadi sebagai sebuah referensi dan alasan dalam konsep
mereka. 3. Menjadikan sebuah puisi baik di zaman pra islam maupun pada masa
Islam yang berfungsi sebagai rujukan konsep bahasa mereka walaupun mereka hanya
menemukan beberapa bait dalam puisi. 4. Mengutip dari berbagai macam bacaan
yang telah ada. 5. Mengutip dari ayat-ayat al-Qur’an dalam jumlah yang lebih
besar dari pada mazhab basrah.[17]
F. Perkembangan
Ilmu Nahwu Di Kufah
Ilmu nahwu
terus tumbuh serta memperoleh momentum perkembangannya yang pesat di masa
Abbasyiyah, ialah pertengahan abad ke- 2 H. Dari Bashrah ilmu nahwu terus
tumbuh ke Kufah, yang disebarkan oleh para alumni Madrasah al- Bashriyah.
Mereka itu antara lain Ja’ far al- Ruwasi serta Mu’ adz al- Harra’. Al- Harra’
belajar kepada Abu Amr, lagi al- Ruwasi tidak hanya belajar kepada Abu Amr pula
kepada Isa ibn Umar serta Abu Amr al- Ala. Ketiganya ulama ini merupakan tokoh
nahwu di Bashrah. Selaku pedoman murid- muridnya, al-Ruwasi menyusun kitab
nahwu bertajuk“ al- Faishal”. Mereka berdua meningkatkan ilmu nahwu serta
membina kader- kadernya di Kufah. semenjak seperti itu bermunculan ulama- ulama
nahwu aliran Kufah, semacam: al-Kisa’ i, serta muridnya al- Farra’. Kedua ulama
ini sudah menyusun satu wujud nahwu serta meletakkan dasar- dasarnya yang
berbeda dengan pendahulunya.[18]
Tidak
berbeda dengan di Bashrah, di Kufah lahir“ Madrasah Kufiah” selaku tempat
pengkaderan ulama- ulama nahwu yang berada di Kufah. Madrasah ini dipelopori
oleh al- Ruwasi serta al- Harra’. Dari sinilah hadir ulama- ulama nahwu,
semacam: Ali ibn Hazim al- Lihyani serta, Hamzah Muhammad ibn Sa’, Hisyam ibn
Mu’ awiyah al- Darir, ibn al- Sikkit, al- Thiwal serta Tsa’ lab. Maka di Kufah
telah tercipta mazhab tertentu di bidang nahwu. Namun, bagaimanapun pengaruh
Bashrah masih senantiasa terdapat, Sebab memang di sanalah dini mulanya ilmu
nahwu lahir. Terlebih ulama- ulama Kufah pula murid yang sempat belajar di
Bashrah. Ternyata Bashrah serta Kufah
ialah kiblat ilmu serta butuh dikenal, kalau nahwu dikala itu merupakan
primadonanya. Sebab itu, banyak orang tiba buat meresap yang terdapat di situ.
Saat ini, pengaruh 2 kota ini sudah hingga ke Baghdad, dengan timbulnya
sebagian tokoh nahwu yang populer semacam: Abu Ali al- Farisi serta murid-
muridnya, ialah Ibn Jinni, ibn Kaisan, ibn Syuqair, serta ibn Khayyat. Di
antara tokoh nahwu Baghdad terdapat yang condong ke Bashrah, terdapat pula yang
condong ke Kufah. Usaha- usaha mereka pada biasanya ditunjukan buat
melaksanakan pilih terhadap pendahulunya, ialah pendapat- pendapat dari ulama
Bashrah ataupun Kufah, di samping pula berijtihad serta menghasilkan komentar
sendiri. Generasi yang terkahir dari Baghdad merupakan al- Zamaksari, ibn Syajari,
Abu al- Barakat al- Anbari, ibn Ya’ syi, serta al- Ridla al- Istirabadi.
G. Kaidah-Kaidah
Ilmu Nahwu Mazhab Kufah
Karena
adanya perbedaan pandangan pada para ulama nahwu bashrah dan kufah , maka
kemudian ulama nahwu di Kufah mengembangkan tradisi keilmuan dalam ilmu nahwu
yang berbeda dengan pendahulunya, sebuah tradisi yang telah dibangun di Bashrah.
Para ulama nahwu Kufah membentuk dasar kaidah bahasa dari suku-suku yang
memiliki bahasa kurang menarik dan tidak fasih, seperti Bani Asad dan kaum-kaum
dari suku Yaman yang memiliki hubungan dengan bangsa-bangsa yang lainya.
Para ulama
Nahwu di Kufah terkenal dengan kehebatan mereka dalam membuat syair, bahkan
suatu hari mereka pernah terlena akibat terlalu fokus dengan syair-syair yang
mereka buat, yang menyebabkan Khalifah Ali bin Abi Thalib marah karena pada
saat itu Ia dan pengikutnya sedang mempersiapkan diri mereka unuk melakukan
perang melawan kaum khawarij. Lalu Ali berkata kepada mereka “Jika kalian
terlalu sibuk dan senang dalam membuat amsal-amsal serta menyebarkan
syair-syair, sehingga melupakan persiapan jihad dalam perang ini, sungguh
kalian merupakan orang-orang yang telah dibuat
sibuk dengan kebatilan dan kesesatan.
Di daerah Kufah terdapat pasar yang Bernama “al-Kunasah” yang berfungsi sebagai tempat menunjukkan kemampuan para ahli Nahwu di setiap bidangnya. Walaupun peran mereka tidak serupa dengan al-Mirbad di kota Bashrah. Adapun beberapa kaidah yang telah disusun dan diklasifikasikan sebagai mazhab Kufah, yaitu:[19
1. A’dad yang menjelaskan arti makna tikrar (التكرار ) mengikuti fu’al dan maf’al (فعال، مفعل ) dan tidak boleh ditanwin
2. Kata (أجمع) dan (جمعان ) dapat dibentuk Isim Tatsniyah, seperti
(أجماعك، أكتعان، أبتعان)dan (جمعاوانوكتعاوان،)
3. Syarth dan Jaza’ (الشرط) dan (الجزاء) di Jazamkan dengan kaifa atau kaifama
4. Bahwa (ان النافية) beramal (Fungsi) seperti
amalnya)
( ليس
5. Dhamir yang Kembali kepada mashdar dapat beramal pada dharf
6. Isim boleh Dijazamkan oleh (ان) mudhamarah
7. Boleh menjadikan athaf mufrad (عطف المفراد) dengan (لكن)
8. Kata (حاش) pada kalimat "حاش الله" adalah kata kerja
fi’il
9. Kata (خلا) pada saat diawali oleh (ما) tidak selalu kata
kerja, tetapi dapat menjadi ism
10. Dhamir muttasil yang terdapat pada fa’il dapat meruju’ kepada
kata yang posisinya jatuh seudahnya
11. (كذا)
dapat diidhofahkan kepada isim mufrad atau isim jama’
12 boleh melafadzkan isim pada dhamir
majrur tanpa diikuti huruf jarnya
H.
Kesimpulan
Pada dasarnya nahwu yang dibesarkan oleh ulama- ulama Kufah dengan
meletakkan kaidah- kaidahnya tidak berbeda dengan apa yang di kembangkan Ulama
Bashrah, sebab keduanya memanglah berasal dari satu institusi yang sama,
Bashrah. Walaupun demikian, banyak pula perbandingan yang diakibatkan oleh
berbedanya sumber bahasa yang dijadikan selaku basis riwayah serta qiyas.
Perbandingan antara nahwu Bashrah serta Kufah, secara simpel dapat
disimpulkan kalau nahwu aliran Bashrah merupakan nahwu yang cenderung murni bersumber
pada bahasa al- Qur’ an serta bahasa dari suku suku yang diketahui fasih bahasa
Arabnya, semacam Qais serta Tamim, yang mayoritas tinggal di Najd, Tihamah,
serta Hijaz. Sebaliknya nahwu Kufah cenderung menjajaki pola pemikiran fiqh di
dalam meletakkan 68 asal- usul, dasar- dasar serta kaidah- kaidah nahwu, di
samping sumber pengambilannya yang lebih meluas sampai ke suku- suku yang tidak
diketahui kefasihannya, semacam suku“ al- Tsawin” dari Bani Asad di Yaman.
Kepribadian serta metode pengambilan yang berbeda, pada gilirannya
bawa aliran nahwu Kufah berpredikat independen. Tetapi, predikat ini tidak
secara absolut, sebab dia senantiasa mendasarkan pada apa yang sudah diresmikan
Ulama Bashrah. Upaya nahwu Kufah membuat“ kepribadiannya” dicoba dengan
menganalisa ulang partikel serta kata, membuat istilah- istilah baru, ataupun
terus melahirkan pandangan- pandangan baru.
[1] Yeni Ramdiani, “Kajian Historis; Perkembangan Ilmu
Nahwu Mazhab Basrah,” El-Hikam Volume
VIII Nomor 2 Juli - Desember 8, no. Kajian Bahasa Arab (2015): 293.
[2] Anwar Abd Rahman, “SEJARAH ILMU NAHWU DAN
PERK.EMBANGANNYA Anwar Abd. Rahman·,” Adabiyah
X, no. 35 (2010): 98.
[3] Ahmad Zaky, “Ushul Nahwi Perkembangan Dan Sejarahnya,”
Waraqat : Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman
4, no. 1 (2019): 20, https://www.assunnah.ac.id/journal/index.php/WRQ/article/view/69.
[4] M Kamal, “Mazhab- Mazhab Sintaksis Bahasa Arab ‘ Nahwu
’ ( Basrah , Kufah , Bagdad , Andalusia , Mesir ) Berbeda Dengan Mazhab Basrah
Yang Sangat Selektif Terhadap Bahasa Dan Ungkapan Orang-Orang Arab Yang Mereka
Dengar Untuk Dijadikan Dasar Penetapan Hukum Ketatab,” Bina Ilmu Cendekia 3, no. 1 (2021): 172.
[5] M Fathor Rohman, “Kajian Historis; Periodisasi Tokoh
Ilmu Nahwu Mazhab Basrah,” Ummul Qura
11, no. 1 (2018): 51.
[6] Rini Rini, “Ushul Al-Nahwi Al-Arabi : Kajian Tentang
Landasan Ilmu Nahwu,” Arabiyatuna :
Jurnal Bahasa Arab 3, no. 1 (2019): 146,
https://doi.org/10.29240/jba.v3i1.773.
[7] Neldi Harianto, “Perbedaan Nahwu Basrah Dan Kufah
Dalam Menyikapi Jama’alam Muannats,” Ad-Dhuha:
Jurnal Pendidikan Bahasa Arab Dan Budaya Islam 1, no. 2 (2020): 70.
[8] Kholisin,
“Cikal Bakal Kelahiran Ilmu Nahwu”, BAHASA DAN SENI, Tahun 31, Nomor 1,
Februari 2003. Hal. 3
[9] Hakmi Wahyudi and Sri Wahyuni Hakim, “Pemikiran
Gramatikal Bahasa Arab Oleh Linguistik Arab (Studi Tokoh Lintas Mazhab Nahwu),”
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman 19,
no. 1 (2020): 116, https://doi.org/10.24014/af.v19.i1.
[10] Asrina Asrina, “KHILÂFIYAH NAHWIYYAH: Dialektika
Pemikiran Nahwu Basrah Dan Kufah Dalam Catatan Ibn Al-Anbâri,” MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman 40,
no. 2 (2016): 414, https://doi.org/10.30821/miqot.v40i2.289.
[11]
Ahmad Amin, Dhuha al-Islâm,. (Mesir: Maktabah Al-Nahdah Al-Mishriyyah, 1974), Hal.296
[12] Kamal, “Mazhab- Mazhab Sintaksis Bahasa Arab ‘ Nahwu ’
( Basrah , Kufah , Bagdad , Andalusia , Mesir ) Berbeda Dengan Mazhab Basrah
Yang Sangat Selektif Terhadap Bahasa Dan Ungkapan Orang-Orang Arab Yang Mereka
Dengar Untuk Dijadikan Dasar Penetapan Hukum Ketatab,” 175.
[13] Taufik, “Mazhab-Mazhab Ilmu Nahwu Dalam Sastra Arab
Klasik,” Al-Af’idah 4, no. 1 (2020):
84.
[14] Syauqi Daif, Al-Madaris
Al-Nahwiyah, ed. Dar Al-Ma’arif, 3rd ed. (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1986),
22.
[15] Sa'id
al-Afgani, Min Tarikh al-Nahwi, (Beirut: Da al-Fikr, tt), hlm. 41
[16]
Mustafa Abd al-Aziz, al-Mazahib al-Nahwiyyah, hlm. 41.
[17] Ihsanudin, “Sejarah Perkembangan Mazhab Nahwu Arab
(Sebuah Tinjuan Historis),” Thaqafiyyat
18, no. 1 (2017): 78.
[18] Ridwan, “Karakteristik Nuhat Kufah Dan Bashrah,” Lingua 3, no. 1 (2008): 61.
[19] Ridwan, 65.
Komentar
Posting Komentar